Pasangkan Jokowi-Prabowo 2024, Polarisasi Rakyat Berhenti?
Jadi, ketegangan, keterbelahan dan kegaduhan selama ini, penyebab utamanya bukan karena rivalitas politik Jokowi vs Prabowo. Tapi lebih karena ada kelompok yang merasa diperlakukan tidak adil.
Oleh : Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Ada pengamat bilang: rakyat terbelah sejak pilpres 2014. Rivalitas politik Jokowi-Prabowo membuat Polarisasi dua kubu di masyarakat. Betulkah polarisasi itu lahir tahun 2014? Apakah Polarisasi itu akibat rivalitas politik Jokowi dengan Prabowo di dua kali pilpres?
2014 Jokowi terpilih jadi presiden. Usai pemilu, sempat ramai. Proses persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) diwarnai demo. Sedikit gaduh. Usai diketuk palu, suasana mulai kondusif. Jokowi jadi presiden, suasana berangsur pulih.
Artinya, persaingan politik Jokowi-Prabowo di pilpres 2014 selesai sudah. Masyarakat tak terbelah. Para pendukung kedua belah pihak kembali ke dunia masing-masing. Hiruk pikuk politik berhenti sampai disitu. Kecuali mereka yang mengaku timses dan berjasa di masa kampanye. Kasak kusuk cari peluang.
Hingga di kemudian hari, kasus "penistaan agama" muncul. Aktor utamanya Ahok. Posisi sebagai gubernur DKI saat itu. Kasus Ahok menggegerkan Indonesia. Jadi isu nasional. Suasana seketika gaduh, bahkan cenderung tegang. Terutama setelah demo 411 dan 212. Puncak kegaduhan terjadi jelang pilgub DKI. Sebagian pendemo curiga ada peran istana di belakang Ahok.
Ahok kalah di pilgub. Kasus penistaan agama diproses di pengadilan, dan Ahok divonis dua tahun penjara. Begitu juga nasib sejumlah aktifis 411 dan 212, sebagian dari mereka harus juga berurusan dengan hukum. Dari sini, ketegangan makin menjadi-jadi. Kegaduhan nasional semakin tinggi eskalasinya.
Ahok kalah, lalu dipenjara, dan sejumlah pendemo Ahok jadi tersangka. Inilah pemicu kegaduhan dan ketegangan itu.
Kegaduhan berlanjut sampai pilpres 2019. Perkumpulan ulama yang menamakan diri Ijtima' ulama memutuskan untuk mendukung Prabowo nyapres lawan Jokowi di 2019. Dalam konteks ini, Prabowo dijadikan capres. Tak lebih dari itu. Prabowo bukan icon. Perlawanan politik tetap dikendalikan oleh para tokoh di luar lingkaran Prabowo.
Prabowo kalah, lalu gabung di kabinet Jokowi. Sampai disini, apakah ketegangan dan keterbelahan masyarakat berakhir? Apakah rekonsiliasi antar pendukung terjadi? Ternyata tidak! Sama sekali tidak. Ini membuktikan bahwa Prabowo bukan icon dan bukan juga pengendali perlawanan politik terhadap kekuasaan.
Dengan begitu, maka faktor penyebab keterbelahan bukan disebabkan oleh rivalitas politik antara Jokowi dengan Prabowo. Bukan perseteruan para pendukung dua capres itu. Tidak! Buktinya, ketika mereka bergabung dan melakukan rekonsiliasi, realitas masyarakat di bawah masih tetap terbelah.
Dalam teori sosial, ketegangan itu terjadi karena ada yang merasa diperlakukan tidak adil. Faktor ketidakadilan akan selalu memicu ketegangan, sebelum pada akhirnya, jika tak terkendali, akan meledak jadi konflik sosial.
Jadi, ketegangan, keterbelahan dan kegaduhan selama ini, penyebab utamanya bukan karena rivalitas politik Jokowi vs Prabowo. Tapi lebih karena ada kelompok yang merasa diperlakukan tidak adil.
Maka, aneh kalau ada yeng berpikir bahwa untuk mengurai keterbelahan rakyat perlu memasangkan Jokowi-Prabowo jadi capres-cawapres 2024. Tidak hanya aneh, tapi ini ngawur. Ngawurnya tingkat dewa. Usul ini muncul karena adanya kesalahan dalam memahami faktor penyebab keterbelahan yang terjadi di masyarakat.
Publik heran, kenapa ada yang mengusulkan Jokowi tiga periode. Alasan digandengkan dengan Prabowo untuk meredam kegaduhan, itu ngawur datanya. Cara berpikir yang menyesatkan.
Tahun 2019, Jokowi sendiri tegas menolak tiga periode. Kepikiran aja gak. Juga Menkopolhukan Mahfud MD menegaskan bahwa gak ada itu tiga periode. Isu ini dianggap menjerumuskan presiden.
Fakta sejarah mengungkap, semakin lama pemimpin berkuasa, maka umumnya akan semakin otoriter. Siapapun itu. Soekarno dan Soeharto, di awal pemerintahannya, cenderung demokratis. Tapi, semakin lama berkuasa, bahkan jadi presiden seumur hidup, ternyata makin otoriter.
Gak boleh jabatan itu terlalu lama. Ini akan memicu terjadinya otoritarianisme. Selain proses regenerasi yang akan terganggu.
Justru sebaliknya, demokrasi akan terjaga jika presiden cukup dua periode. Setelah 2024, hadirnya presiden baru, frresh, memiliki pola dan warna yang berbeda dalam mengelola pemerintahan, maka justru ada peluang untuk mengakhiri polarisasi dan keterbelahan di masyarakat. Dengan begitu, kegaduhan bisa segera dihentikan. Jangan memperpanjang polarisasi, keterbelahan dan kegaduhan ini dengan gagasan dan ide tiga periode.
The End.